{Review} SALAH ASUHAN – ABDOEL MOEIS


Judul Buku : Salah Asuhan
Penulis : Abdoel Moeis
Penerbit : PT Balai Pustaka
Tahun Terbit : Cetakan Pertama 1928
Cetakan keempat puluh, 2011
Tebal : xvi + 336 Halaman
 ISBN : 978-979-407-064-5
Pinjam di Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kabupaten Pacitan
***
BLURB
Secara tematik, novel Salah Asuhan telah mengalami pergeseran dari novel-novel pendahulunya. Abdoel Moeis tidak lagi mempersoalkan adat, tapi menyuguhkan masalah yang lebih besar dari itu : perkawinan campur antar bangsa
Helvy Tiana Rosa, Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara

Salah Asuhan adalah tonggak sastra kontemporer pada zamannya. Ia memiliki tema aneh, dan barangkali dianggap lancang pada saat itu. bagaimana mungkin seorang Hanafi yang hanya pribumi yang notabene adalah kelas rendah untuk pandangan “kelas” yang diterapkan di Hindia Belanda bisa mencintai dan menikah dengan perempuan Belanda?

Pertentangan-pertengan psikologis, pertentangan keyakinan, di mana nilai agama dan nilai-nilai tradisi menjadi persoalan serius (yang membuat tokoh dianggap menyimpang), dengan akhir hidup yang tragis yang dialami setiap tokohnya, menjadikan novel ini terasa getir dan memilukan. Inilah potret-potret manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang dilukiskan secara telanjang dan cerdas. Sebuah novel yang tetap berharga untuk kembali dibaca.
Joni Ariadinata, Sastrawan, redaktur Majalah Sastra Horison

*****------*****------*****------****-----******

Hanafi menjadi salah satu orang yang beruntung dibandingkan warga Solok lainnya, karena kuatnya tekad sang Ibu untuk menyekolahkan Hanafi ke jenjang yang lebih tinggi. Hanafi bisa bersekolah ke Betawi, Pendidikan barat mengubah sosok Hanafi. Sang Ibu dan penduduk Solok menaruh harapan yang besar kepada Hanafi.

Tapi sayangnya harapan itu tinggal harapan. Hanafi merasa bahwa budaya dan cara hidup orang eropa adalah yang paling baik dibandingkan dengan adat dan kebudayaan bangsanya sendiri (terutama adat budaya padang). Selain membenci kebudayaan tempat ia dilahirkan ia juga berani membentak dan selalu menyanggah semua perkataan ibunya, puncaknya adalah saat Ibu Hanafi menjodohkan Hanafi dengan anak dari pamannya Hanafi, gadis itu bernama Rapiah.

Padahal, Hanafi sudah jatuh cinta kepada sosok Corrie, wanita Belanda yang sudah menjadi sahabatnya sejak ia bersekolah di Betawi. Tapi hutang balas budi yang selalu sang ibu katakan membuat Hanafi tak bisa melakukan apapun, Hanafi pun menerima pernikahan itu, tapi cintanya kepada Corrie tidaklah padam, Rapiah tidak pernah bisa menggantikan sosok Corrie, Hanafi memperlakukan Rapiah dengan kasar bahkan tak segan Hanafi mencaci atau menggertaknya.

Apakah kisah Hanafi, Rapiah dan Corrie hanya berakhir sampai di sini? Tidak.

Saat keadaan yang harus memaksa Hanafi untuk pergi ke Betawi, ia menganggap ini adalah peluang untuk ia kembali bertemu dengan Corrie. Dan takdir membuat mereka kembali bertemu, pertemuan kembali ini tak bakal Hanafi sia-siakan, ia bertekad akan melakukan apapun untuk menyatukan cintanya kepada Corrie,meskipun harus tidak lagi menyandang sebagai status seorang pribumi.

Bahagiakah kehidupan pernikahan Hanafi dan Corrie? Cukup hanya sekedar kata cinta kah yang mereka perlukan? Mampukah mereka hidup bahagia saat di sisi lain ada sosok ibu, anak dan wanita serta mungkin seluruh warga Solok yang merasa tersakiti hatinya?

Simak kisah mereka selengkapnya dalam novel “SALAH ASUHAN” karya Abdoel Moies. Dan temukan sesuatu yang beda dari novel-novel era saat ini.

****------*****------****--------*****------**


Bersyukur banget bisa nemu novel ini di antara banyak buku di rak perpustakaan daerah di Pacitan. Novel yang cuplikan kalimatnya selalu muncul di pelajaran bahasa indonesia di zaman SD. Selalu bertanya-tanya gimana sih ini ceritanya. Dan setelah sekian tahun baru bisa membacanya.

Butuh waktu untuk menyelesaikan cerita ini, karena dari segi bahasa sangat berbeda dengan bahasa sekarang, karena menggunakan ejaan lama dan menggunakan logat padang / bahasa padang. Jadi satu kalimat itu adakalanya dibaca lebih dari dua kali. Butuh waktu tapi tetap lanjut bacanya karena memang asyik buat dibaca karena benar-benar menambah khasanah pengetahuan kita.

Novel ini terbit pertama tahun 1928, di mana saat itu Indonesia belum memperoleh kemerdekaannya dan masih dalam masa penjajahan. Jadi bisa dikatakan novel ini cukup berani karena, pihak Belanda dan pribumi terlihat jelas meskipun di sini tidak diceritakan kekejaman mereka (kaum Belanda). Yang aku tahu era dulu banyak sastrawan yang berjuang di jalur mereka sendiri, jadi tidak heran saat dulu orang ditangkap karena tulisannya. Dan tema novel ini aku rasa penulisnya sangat berani. Perkawanina dua negara, yang dulu masih dianggap hal yang tabu.

Karakter-karakter yang ada di novel ini antara lain Hanafi, Hanafi adalah pemuda asli Solok yang aku rasa dia seperti peribahasa kacang lupa kulitnya, dia lupa dia berasal dari mana. Karakter Hanafi benar-benar kuat, dari halaman pertama aku sudah membenci si Hanafi ini. Secara tidak langsung dia itu menyakiti banyak wanita, dan apa artinya seorang pria yang pandai menyakiti hati seorang wanita? Dia sangat mementingkan gengsinya dihadapan teman-temannya yang berarti itu adalah orang Belanda.

Lalu ada Rapiah, dia disebut mutiara dari timur, dia berpendidikan meskipun tidak setinggi Hanafi. Rapiah ini sosok yang baik dan aku rasa predikat mutiara dari timur itu sudah menjelaskan siapa sosok Rapiah itu sendiri.

Corrie, gadis yang ceria, cantik dan banyak pria yang suka padanya tapi dia tidak terlalu mempedulikan mereka, tapi hatinya sudah tertambah pada sosok Hanafi.

Ibu kandung Hanafi, sosok Ibu yang apa adanya, dan memang seperti lah seorang Ibu, tidak mau melakukan hal-hal yang membuat Hanafi marah kepadanya ataupun kepada Rapiah, meskipun begitu tetap perhatian kepada anak satu-satunya itu.

Alur atau jalan ceritanya terdiri dari beberapa plot dan terangkai dengan apik dan sukses mencampur aduk emosi pembaca, di awal aku sangat membenci Hanafi tapi pas menuju ending jujur aku kasihan juga kepada Hanafi. (maaf spoiler)

Waktu adegan di mana Hanafi digigit anjing gila setelah memarahi Rapiah dan mengertak Ibunya, aku langsung teriak untuk menyumpahi Hanafi, lega gitu rasanya melihat dia kesakitan. Aku tertawa diatas penderitaan dan kesakitan Hanafi. Aku rasa Hanafi ini contoh manusia yang aku harap sudah tidak ada lagi Hanafi Hanafi lain di bumi ini.

Aku tidak mempermasalahkan cintanya yang ada antara Hanafi dan Corrie, yaa aku tahu cinta itu tidak bisa dipaksakan tapi cinta itu bisa di manajemen dengan baik. Ha ha ha ha.

Penggambaran setting tempatnya dapat banget, jadi aku merasa seperti melihat film tempo dulu. Pakaian para remaja Belanda, rumah-rumah di Solok. Semua tergambar dengan jelas di cerita ini. Seperti melihat film yang berputar-putar di otak dan pikiran kita. Sesederhana itu.

Di cerita ini juga dijelaskan bagaimana dulu penderitaan dan suka duka pernikahan pribumi dengan bangsa asing. Serta disinggung sedikit tentang harta pusaka yang berarti tentang garis keturunan masyarakat Sumatra Barat, pasti sudah tahu kan garis keturuanan mereka itu dari pihak ibu. Pantun yang diketahui merupakan sastra lama, juga diangkat disini, ada beberapa pantun yang apik. Biasanya diucapkan oleh Rapiah, kala dia sedih atau menimang Syafei.

Beberapa quote yang aku temukan dalam cerita ini :

“Barang siapa yang teguh pada keyakinannya dan tidak kurang pula ikhtiarnya, niscaya akan berhasil usahanya.”
(Halaman 7)

“Ibu orang kampung dan perasaan Ibu kampung semua.”
(Halaman 28)

“Secara adat kita di Minangkabau, sebaik-baik meminta – buat laki-laki – lebih mulialah jika ia diminta.”
(Halaman 75)

“Jika anak durhaka kepada ibunya, sudah tentu ibu itu akan mengampuni anaknya, karena kasih, tapi Allah taala akan menunjukkan juga murkanya kepada anak durhaka itu.”
(Halaman 75)

“Masuk kandang kerbau menguak, masuk kandang kambing mengembek. Kata orang di tanah airmu. Itulah pakaian buat hidup, Han.”
(Halaman 292)

Beberapa kalimat yang terdengar asing :
“..., ibunya tidak membantah lagi, hanya menyapu matanya saja dengan selendang, menyadari untungnya yang sudah beranak sepandai itu.” (halaman 37)

“Bukankah Corrie membuka jalan jantungnya dengan seluas-luasnya, buat dimasuki oleh Hanafi.” (Halaman 68)

“Apakah pergaulan gadis dengan bujang itu tidak bisa berdasarkan pada ‘persahabatan’ saja? Apa mesti dihabisi dengan kawin saja? (Halaman 115)

“Meskipun rambutnya sudah putih, cucunya sudah memenuhi kampung, tapi ia orang ‘japutan’. Masih banyak benar gadis yang boleh didapatnya asal ia suka.” (halaman 236)

Banyak kata-kata yang jika diucapkan sekarang mungkin terdengar kurang sopan atau bermakna berbeda. Seperti kata jongos, di cerita memanggik dengan sebutan ‘ngos’ adalah hal yang lumrah. Lalu kata ‘bercinta’ ternyata dulu itu digunakan untuk kata berpacaran.

Tapi sayangnya ada beberapa kata dalam bahasa Belanda yang tidak diartikan, jadi kita tidak tahu apa arti dari kata tersebut. Seperti ‘met beleid’, (artinya setelah cek di google translate adalah 'dengan kebijakan' ‘begrijpen en vergeven’.(sedangkan ini artinya 'mengerti dan memaafkan' Dan lainnya.

Ada beberapa kata dalam bahasa indonesia yang aku juga tidak tahu artinya seperti kata ‘fiil’, ‘galib’, ‘mengganjur’.

Galib artinya : cek di sini
Fiil artinya : baca di sini
Mengganjur artinya : di sini aja bacanya

Kalau kita membahas tentang konflik percintaannya mungkin hal itu terdengar biasa, karena novel ini bukan tentang novel recehan tentang cinta-cintaan, tapi penekanan kisah ini adalah konflik sosial yang diangkat.

Pesan moral seperti apa yang didapat dari kisah Hanafi ini yang masih relevan dengan kehidupan modern seperti saat ini?
Bukan tentang perihal pendidikan gaya barat, banyak anak-anak Indonesia yang menempuh pendidikan di negara barat tapi mereka masih tetap menjunjung nilai ketimuran dan masih mencintai Indonesia.
Bukan tentang cinta beda negara, semua tahu bahwa menikah bukan hanya menyatukan dua orang tapi menyatukan dua kebudayaan dan dua keluarga yang berbeda.
Dari Hanafi kita bisa belajar tentang sebuah sikap dan mental kita.

Sudahkah kalian membaca cerita Hanafi ini? Cocok dan aman dibaca oleh semua usia.
Bintang 5 untuk kisah Hanafi.



Posting Komentar

0 Komentar