PEMIKIRAN ANTI MAINSTREAM SEORANG AYAH VERSI NOVEL BAPANGKU BAPUNKKU

 

BAPANGKU BAPUNKKU adalah novel karya Pago Hardian yang diterbitkan oleh Penerbit Indiva, dan kebetulan juga novel ini menjadi pemenang kedua untuk Lomba Menulis Novel Inspiratif INDIVA tahun 2014.

 

Bapang adalah nama panggilan untuk seorang ayah dalam bahasa Suku Semende. Suku Semende sendiri adalah salah satu suku yang berasal dari Sumatera Selatan, dan masih satu rumpun dengan Suku Melayu di Palembang, Bengkuli, Lampung, Kalimantan hingga Malaysia.

 

Dalam karakter di novel ini Bapang mempunyai karakter yang agamis, pintar sekaligus keras kepala dengan segala prinsip dan pemikirannya yang kalau yang jika ditentang maka harus siap-siap adu argumen dengan Bapang.

 

Siapapun itu tanpa kecuali, mulai dari takmir masjid, Bidan, kepala sekolah, Guru, Dokter, apalagi anak-anaknya sendiri pasti sudah kenyang dengan segala argumen dari Bapang.

 

Argumen atau prinsip Bapang, bukan sekedar asal bunyi tanpa ilmu pengetahuan, tapi memang ada dasar-dasar ilmu kenapa Bapang berpendapat seperti itu.

 


Dan inilah beberapa pemikiran anti mainstream Bapang dalam novel BAPANGKU BAPUNKKU, yaitu sebagai berikut :

 

Pertama
 

Meski bisa dikatakan keturunan orang kaya, dan punya penghasilan yang lebih dari cukup. Di rumah Bapang sama sekali tidak ada antena televisi. Televisi ada tapi antena tidak ada, berarti sama saja tidak punya televisi. Hal ini disebabkan karena menurut Bapang acara televisi sekarang kebanyakan merusak moral anak-anak. Meski pada akhirnya setelah dilakukan pemungutan suara 5 Vs 1 , Bapang akhirnya tetap membeli antena televisi tapi dengan segala aturan yang ditetapkan oleh Bapang.

 

Menolong pencuri jempuran, bahkan rela pindah kost dari kostan mewah ke kostan yang sangat sederhana demi bisa membantu pencuri tersebut. Bahkan ayah Bapang sangat merah melihat apa yang dilakukan anaknya itu.

 

Kedua

Adalah cara memilih sekolah untuk anak-anaknya. Dengan 7 taman baca yang tersebar di wilayah jogja, dan warung makan yang selalu ramai serta keturunan dari keluarga berada belum lagi dari job menulis, bukan hal sulit bagi Bapang untuk menyekolahkan anak di sekolah yang mahal. Nyata bukan sekolah unggulan, bukan sekolah elit ataupun sekolah dengan akreditasi A, sekolah swasta atapun sekolah negeri yang menjadi alasan untuk memasukkan anaknya ke sekolah tersebut.

 

Sekolah Islam atau sekolah pemerintah yang paling dekat dengan rumah, adalah yang dipilih Bapang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Karena menurut Bapang kualitas kepintaran anak itu hanya sedikit sekali ditentukan oleh sekolah, yang paling menentukan adalah didikan di rumah. 

 


 

Ketiga

Bapang tidak pernah mengharuskan anaknya untuk menjadi juara kelas, meski dulunya Bapang dari Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) hingga Madrasah Aliyah (setingkat SMA) selalu langganan juara satu. Bapang hanya membiasakan anak-anak belajar secara disiplin, bukan sembarangan belajar tapi belajar dengan pendampingan langsung dari Bapang sendiri, harus dengan perasaan gembira dan tanpa tekanan.

 

Keempat

Setelah menemukan bahwa tipe kecerdasan manusia tidak hanya empat tapi ada 11, Bapang menjadi lebih bijaksana dan tidak terlalu menuntuk sang anak untuk menyukai pelajaran yang tidak di sukainya, untuk hanya fokus kepada kecerdasan yang dimiliki sang anak. Dan pada akhirnya nilai sang anak di sekolah menjadi taruhannya.

 

Kelima

Tetap pada keputusan bahwa sang istri harus melahirkan secara normal meski kondisi bayi dalam keadaan sungsang dan air ketuban sudah pecah selama belasan jam, sang istri sudah pucat menahan sakit, bahkan dokter mengatakan kondisi ini bisa membahayakan bayi dan ibunya, tapi Bapang tetap bersikeras bahwa harus melahirkan normal, dengan alasan hidup mati seseorang ada di tangan ALLAH, dan jikapun istrinya meninggal ketika melahirkan maka meninggalnya adalah syahid. Dari sekian banyak pemikiran Bapang yang extream aku paling tidak suka perkara ini. Ingin rasanya aku memukul kepala Bapang dan berteriak tepat di depan mukanya "Bodoh"

 

Keenam

Bertengkar dengan guru, kepala sekolah karena mengatakan bahwa Anjam adalah anak yang bodoh dan harus tidak naik ke kelas satu. Meski Anjam baru kelas satu sekolah dasar prestasi menggambarnya sungguh luar bisa, ia kerap menjadi juara lomba, tetapi Anjam sama sekali belum bisa membaca dan menulis. Sekolah punya aturan yang sudah ditetapkan oleh Dinas pendidikan bahwa meski berprestasi menggambar kalau tidak bisa membaca dan menulis tidak bisa naik kelas.

 

Karena perkara inilah, akhirnya Bapang bertengkar dengan pihak sekolah, menyuruh pihak sekolah melepas spanduk penerimaan siswa baru karena menggunakan foto Anjam, dan puncaknya adalah semua anaknya dikeluarkan dari sekolah itu.

 

Ketujuh

Menentang pembangunan kembali masjid, takmir masjid berencana untuk merubah total bangunan masjid dengan membangun masjid berlantai dua. Bapang menolak mentah-mentah dari sekian anggota takmir dan warga hanya Bapang yang menolak mentah-mentah pembangunan kembali masjid tersebut. Bapang berpendapat kondisi masjid masih bagus dan masih layak, daripada uanganya digunakan untuk membangun masjid lebih baik untuk membeli buku-buku untuk perpustakaan masjid dan bisa juga digunakan untuk membangun atau memperbaiki rumah-rumah warga yang rusak. Tapi tentu saja Bapang kalah voting dengan pengurus masjid.

Karena pada umumnya orang akan berfikir bahwa dana infak masjid memang hanya boleh digunakan untuk pembangunan masjid semata.

 

Itulah tujuh pemikiran anti mainstream seorang ayah yang sangat sayang kepada keluarganya versi novel BAPANGKU BAPUNKKU.

 

sampai ketemu di postingan tentang buku selanjutnya, HAPPAY READING 


 

Posting Komentar

0 Komentar