{Review } Petang Panjang Di Central Park


Judul Buku : Petang Panjang di Central Park
Penulis : Bondan Winarno
Penyunting : Teguh Afandi
Penerbit : Noura Books
Tahun terbit : Cetakan Pertama, Desember 2016
Tebal : 360 Halaman
 ISBN : 978-602-385-187-4
Bookmail / hadiah GA dari Akun Ig Teguh Afandi
***
BLURB
“Alangkah berbahayanya musim semi. Ketika bunga-bunga bermekaran, hati manusia pun menjadi bungah, menjadi lahan subur untuk menumbuhkan cinta.”

Buku ini merupakan manuskrip lengkap kiprah Bondan Winarno sebagai penulis cerpen. Terhimpun di dalamnya dua puluh lima cerpen yang ditulis sepanjang masa 1980 hingga 2004. Kesemuanya telah terbit di berbagai media massa dan sebagian besar memenangi sayembara kepenulisan.

Cinta, pilu, luka dan kesepian disajikan dalam cerita-cerita kompak dengan bahasa sederhana. Semua merupakan potret romansa hidup manusia dari berbagai belahan dunia dengan banyak latar peristiwa. Sejarah boleh berganti, tetapi percik-percik keindahan akan abadi melintasi generasi. Cerpen-cerpen ini merupakan jeda permenungan, agar sejenak lepas dari pikuk duniawi, sekaligus juga bacaan pengasah hati.

Membaca buku ini serupa menyusuri jejak-jejak Bondan Winarno dalam sastra Indonesia, sekaligus menegaskan kembali posisinya sebagai pencerita ulung.

*****------*****------*****------****-----******

Dua puluh lima cerita terdapat dalam buku ini antara lain adalah : Gazelle, Istri Si Fouad, Nikodemus, Pada Ulang Tahun Nyonya Besar, Santa dsb.

Sebagian besar cerita menggunakan setting tempat di luar negeri, meskipun cerita ini sudah dibuat puluhan tahun yang lalu tapi dibaca sekarang masih terasa masih oke punya. Dan beberapa cerita berkisah tentang tokoh utama yang seorang wartawan.

(adakalanya aku sempat berfikir, mungkin di beberapa cerita setting tempat merupakan tempat yang pernah dikunjungi penulis).

Alur cerita ataupun penyajian cerita sudah tidak diragukan lagi, karena memang seluruh cerita ini pernah terbit di media. Ada yang pernah dimuat di harian Kompas, menjadi pemenang sayembara menulis cerpen di majalah Femina, dsbnya.

Disini kekuatan penggunaan kalimat tak langsung sangat kuat, sebagian besar memang ditulis dengan kalimat tak langsung, tapi kita tetap bisa merasakan dan masuk ke dalam cerita. sekali baca halaman pertama langsung tidak ingin berhenti, karena setiap ceritanya memang luar biasa. Dan menjadi ciri sebuah cerpen yang yang dimuat di media adalah ada sebuah kesimpulan sendiri diakhir cerita. di awal kita digiring untuk berasumsi seperti ini, tapi ternyata akhirnya malah seperti itu. cerpen yang padat kata tapi tetap semua inti cerita tidak ada yang terlewatkan.


Aku paling suka cerita yang berjudul “Pada Ulang Tahun Nyoya Besar”, ini bercerita seorang ibu yang menunggu kehadiran dua anaknya untuk merayakan ulang tahunnya, sang ibu hanya tinggal dengan asisten rumah tangga saja, miris juga membaca cerita ini, menjadi pengingat buat aku bahwa selalau ada akibat dari sebuah sebab yang pernah dilakukan. Kemudian ada lagi cerita yang berjudul “Amnesti”, tentang seorang wanita yang ingin berkumpul bersama dengan kekasihnya tapi terhalang oleh aturan dari kedua negara, mereka tinggal di wilayah perbatasan. Di cerita tersebut sungguh orang-orang yang bekerja di wilayah perbatasan itu sangat kejam. Dari cerita ini aku belajar satu hal yaitu belajar tidak harus dari pengalaman diri sendiri, tapi tidak ada yang salah dengan belajar dari pengalaman orang lain.

Secara keselurahan, baik dari gaya penulisan, pilihan diksi sudah sangat luar biasa. Tapi ada beberapa istilah asing yang tidak aku mengerti dan tidak ada catatan kakinya, dan hal ini sebenarnya sedikit mengganggu, tapi karena saking kuatnya cerita yang dibuat, aku sendiri menepis kata-kata asing yang tidak aku mengerti itu.

Kata-kata asing itu antara lain : Venito (halaman 61), orang Masai (halaman 92), Kapsalon (halaman 188). Dan ada nama beberapa makanan yang aku tidak tahu (mungkin karena tidak pernah jalan-jalan keluar negeri, jadi nama mereka terlihat asing)

Ada beberapa kata yang tidak dicetak miring tapi terdengar asing,  seperti kata ‘injili’ pada kalimat “di sebuah benua nyaris injili dengan satwa dan sabana seperti pada masa purba” (Halaman 88), mungkin injili masuk perbendaharan kata baru dalam kamus KBBI, dan mungkin selepas menulis review ini aku bakalan cari apa arti injili ini sebenarnya.

“Ia melepas bajunya yang penuh debu. Membiarkanku menampaknya bertelanjang dada.” (Halaman 99), aku bingung dengan kata yang aku garis bawahi, itu ejaan lama, sesuai dengan KBBI yang baru, atau salah penulisan?

Ada beberapa kata atau kalimat yang terdengar vulgar, dan aku rasa cerita ini bisa dibaca untuk usia 19 tahun ke atas, mengingat cerita-cerita ini terbit di harian kompas dan majalah femina yang memang bukan pangsa pasar untuk anak remaja.

Setelah membaca kumpulan cerpen ini, aku menjadi tahu gambaran tentang cerita yang bisa dimuat di harian surat kabar.

Dan di dalam buku ini juga menjelaskan perjalanan singkat karir Pak Bondan, sebelum seluruh Indonesia mengenalnya karena kalimat “Mak Nyuss” , dan perjalanan karier Pak Bondan memang cukup hebat dan luar biasa, pantas ia bisa menulis sebagus itu. dua jempol untuk Pak Bondan.

Buku ini menjadi unik, saat di halaman pertama ada semacam kata sambutan dari editor dan dari penulis sendiri, ternyata buku ini menjadi kado ulang tahun pak Bondan yang ke 55 untuk dibagikan kepada orang-orang terdekatnya.

Dan salut juga buat penerbit, yang berhasil menerbitkan buku ini, pasti tidak mudah mengumpulkan cerita yang pernah terbit beberapa puluh tahun yang lalu, cerita pertama itu aja diterbitkan di kompas tahun 1983, berarti udah berapa tahun itu coba?
Bintang 4 untuk kumpulan cerita ini.  

*****------*****------****--------*****------*****

Petang Panjang di Central Park, merupakan salah satu buku dari dua buku hadiah GA dari akun Ig Kak Teguh Affandi. Hadiah buku satunya adalah Barefoot Gen #5.
Terimakasih banyak buat Kak Teguh, atas hadiahnya, maaf kalau baru bisa di baca dan direview, suka banget sama dua bukunya. Keren. Dua jempol.
Sukses terus buat Kak Teguh, jangan pernah lelah menebar virus baca kepada selurh masyarakat Indonesia.

******--------******-------------*********


Bondan Winarno, lahir di Surabaya, 29 April 1950. Adalah seorang penulis yang mengawali jejak panjang kepenulisannya sebagai pemenang sayembara mengarang majalah Si Kuncung ketika ia berusia 10 tahun. Dari titik itu ia mulai melatih dirinya dengan menjadi stringer (pemberita lepas) harian Suara Merdeka dan Angkatan Bersenjata di Semarang.

Setelah dropout dari Fakultas Tehnik Arsitektur Universitas Diponegoro dan grounded dari pendidikan penerbangan Garuda, ia pindah ke Jakarta pada awal 1970. Salah satu karier awalnya adalah sebagai copywriter (penulis naskah iklan) di sebuah perusahaan periklanan terbesar. Ia pun makin dikenal sebagai kolomnis dengan fokus lingkungan hidup, masalah sosial, dan manajemen. Tulisannya diterbitkan di KOMPAS, TEMPO, The Asian Wall Street Journal, The Far Eastern Economic Review, dan lain-lain.

Ia juga pernah memimpin wakil redaksi majalah SWA dan harian Suara Pembaharuan. Ia pernah “menyeleweng” dari profesinya karena menjadi pelaku bisnis. Ia pernah bekerja sebagai presiden sebuah perusahaan hasil laut di Los Angeles dan Seattle, AS, serta menjadi konsultan World Bank di Indonesia pada saat krisis monoter melanda negara kita. Ya, ia memang orang yang di kemudian hari dikenal sebagai “Pak Maknyus” – sebuah tikungan dalam hidup yang tidak pernah diantisipasinya.  



Posting Komentar

0 Komentar